Pakar BRIN Sebut PLTN Bisa Jadi Solusi Target Net Zero Emission
- by admin
Indonesia memiliki target mewujudkan komitmen net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat, salah satunya dengan cara pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pertama. Pembangunan akan dimulai dengan commercial operation date (COD) yang dilakukan pada 2045.
Menurut Profesor Riset sekaligus Peneliti Ahli Utama pada Organisasi Riset Tenaga Nuklir BRIN, Djarot S. Wisnubroto, selama lebih dari dua dekade, topik energi nuklir tidak masuk dalam agenda konferensi perubahan iklim. Namun, pada KTT COP26 yang berlangsung di Glasgow, energi nuklir mulai menjadi perhatian.
“PLTN merupakan salah satu solusi untuk mencapai NZE, karena memiliki karakteristik yang bebas karbon dan mampu menghasilkan daya besar terus menerus,” ujar dia dalam acara virtual bertajuk ‘Prof Talk: Siapkah Energi Nuklir Mendukung Net Zero Emission Indonesia?’ pada Selasa 16 November 2021.
Menurut data dari World Nuclear Association, per Oktober 2021, ada 440 reaktor daya yang beroperasi di 32 negara, ditambah Taiwan. Di luar itu ada 50 reaktor yang sedang dibangun, termasuk di Banglades, India dan Turki. Menurut Djarot yang merupakan Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) periode 2012-2018 itu, tenaga nuklir saat ini memiliki kontribusi 10 persen total energi global.
Djarot juga memberikan gambaran dan contoh negara-negara Eropa seperti Swedia, Prancis, Denmark, dan Jerman dari segi share of electricity. Swedia dan Prancis pasokan energinya diisi oleh nuklir dan pembangkt tenaga air, sementara Jerman berencana menghentikan operasi PLTN pada 2022 dan akan bergantung pada energi terbarukan. Denmark 78 persen bergantug pada renewable energy, dan masih menggunakan batu bara yang menjadi tantangan dari sisi emisi.
Jadi, Djarot menambahkan, energi nuklir dan tenaga air bisa menjadi faktor signifikan dalam memerangi emisi karbon. Secara beban biaya, Jerman menjadi yang paling mahal, disusul Denmark, lalu Prancis dan Swedia. Itulah, menurut Djarot, mengapa banyak negara yang mulai mengatakan akan mencoba menggunakan nuklir.
“Tapi tantangannya, membangunnya lama, sehingga kebijakan banyak negara yang sudah punya PLTN adalah memperpanjang usianya menjadi 80 tahun yang tadinya 40-60 tahun,” tutur Djarot.
Ukraina, dia menambahkan, meskipun memiliki pengalaman buruk karena kecelakaan Chernobyl pada 1986, 53 persen energinya masih tetap berasal dari PLTN. Menurut data, negara itu memiliki 15 PLTN yang beroperasi, sedang membangun dua PLTN baru pasca-empat reaktor dimatikan di Chernobyl. “Mereka tetap bergantung pada PLTN,” katanya.
Sedangkan Jepang, yang juga terkenal dengan kecelakaan Fukushima Daiichi pada 2011, sudah mengoperasikan kembali 10 PLTN, dan 16 lainnya sedang menuju proses untuk beroperasi kembali. Bahkan membangun dua PLTN baru, dan memiliki 27 reactors shutdown. “Tapi Jepang pun itdak memiliki cara lain, dan tetap menggunakan nuklir meskipun ada pro dan kontra.”
Lulusan S3 Bidang Nuclear Engineering School, University of Tokyo, Jepang itu, juga meminta agar semua pihak melihat pro dan kontra secara lebih objektif. Faktor pendukung, kata dia, energi nuklir memiliki emisi karbon rendah, bisa beroperasi dua tahun terus menerus misalnya dengan daya yang besar.
Selain itu, harga listrik kompetitif (meski batu bara yang paling murah), dan harga bahan bakar tidak mempengaruhi harga listrik. “Jadi misalnya saat ini ada harga gas alam naik, batu bara naik, minyak naik, maka harga listrik ikut naik, tapi PLTN ini tidak karena bahan hanya berkontribusi 5-10 persen dari total cost yang ada,” kata Djarot.
Sedangkan kontranya adalah ketakutan kebocoran reaktor nuklir, bagaimana limbah radioaktifnya, dan pembangunannya mahal dan lama. “Serta apa kita bisa mengelola teknologi berisiko, sementara kita memiliki budaya keselatan yang rendah,” katanya.
Data yang diungkap menunjukkan banyak negara di Eropa, bahkan Ukarina dan Jepang yang pernah celaka dengan reaktornya, masih bergantung kepada PLTN.